WARISAN SELIU
“Bukan tentang pantainya, namun tentang permata yang tersimpan menjadi warisan” – Nur Fadilah
Alink berkumpul dengan ria di pinggiran Teluk Gembira. Saat itu saling mencari beberapa teman yang satu sekelompok dengannya, sebab belum pernah bertemu sebelumnya. Sore terik menyinari pinggiran pantai, sebelum kapal datang menjemput para delegasi, alink menyempatkan diri untuk merapat bersama teman-teman, membahas kelanjutan dari perencanaan yang telah matang sebelum sampai di Pulau Seliu.
Tidak lama, kapal datang mendekat. Barang-barang mulai di angkat satu per satu menuju kapal. Sambil memandang langit biru dan lautan luas, hati mulai bergumam. Seliu, kami datang.
Perjalanan dari Teluk Gembira menuju Seliu tidak terlalu jauh. Hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, dua kapal delegasi sampai di Liu-Liu alias Pulau Seliu. Perlahan-lahan turun dan berjalan masuk ke pintu gerbang “Selamat Datang”. Namun, di masa pandemi ini, di samping kami telah membawa surat rapid test, pemerintah setempat telah menyiapkan sabun cuci tangan dan pengecek suhu tubuh yang harus dilakukan terlebih dahulu. Dengan menjaga jarak, alink dan teman-teman mengantri cukup panjang dengan sambutan warga desa yang cukup antusias, meski terbatas dikarenakan kondisi yang dapat dimaklumi.
Tak disangka, pulau yang terletak di bagian Utara kota Jakarta ini, telah kami sentuh setelah 45 menit penerbangan ditambah perjalanan darat dan laut. Wah… sudah seperti ninja hatori, mendaki gunung lewati lembah. Begitu katanya.
Warga desa yang ramah dan dermawan, mulai menyahut sepanjang perjalanan menuju kantor balai desa. Bahkan, salah seorang ibu sudah menawarkan makanan khas Palembang, ya mpek-mpek. Seliu adalah pulau kecil, sebelah Barat Daya Belitung yang beribukota Bangka Belitung. Pulau ini merupakan pemekaran dari Sumatera Selatan yang kini telah berdiri sendiri. Budaya Melayu sangat dirasakan sehingga pengunjung merasa terhormati dengan sambutan warga disini.
Hari sudah petang, kini saatnya kami istirahat sejenak di penginapan yang telah disediakan. Karena mulai malam hari, program pengabdian ini akan dimulai.
Susur Pulau
Indonesia memang patut dicintai. Keindahannya tidak ada bandingan dengan apapun, kekayaannya berlimpah ruah, dan kesatuannya adalah sebuah kekuatan. Pulau Seliu dengan luas 1.530 hektar dihuni kurang lebih 1.148 jiwa, menjadi destinasi yang indah bagi wisatawan. Bahkan pemerintah setempat mulai menggaungkan diri untuk membuka mata para pengunjung dan melihat keindahan alam di dalamnya. Mulai dari wisata bahari yang mayoritas pencahariannya adalah nelayan. Namun desa ini juga memiliki pertanian. Danau purun yang menjadi ikon unik dan penuh sejarah, pernah dijajah jepang dan menanam padi disana, yang kini menjadi destinasi purun resort. Kurang lebih luasnya 62 hektar, kami lewati jembatan yang kokoh untuk dapat berjalan ke tengah danau purun sepanjang 400 meter.
Pagi itu, Alink dan teman-teman mulai melakukan social maping untuk memberdayakan program yang telah dicanangkan. Ini adalah hari kedua kami disini. Desa ini cukup bersih dan tertata rapi. Bahkan ketika pertama kami sampai disini, alink sudah melirik sepanjang jalan. Sungguh mengagumkan, tidak ada sampah satu pun yang terlihat. Bahkan tempat sampah juga sudah terpisah antara organik dan anorganik. Tetapi Alink harus mencari lebih jauh lagi, karena program ecobrick akan menjadi produk terbaru di pulau ini.
Tiba-tiba dikejauhan, alink melihat anak-anak ramai bermain di Sekolah Taman Kanak-Kanak. Mulai berjalan cepat, dan menghampiri mereka. Desa terlihat sepi, mungkin karena warga stay at home di masa pandemi ini. Namun, kami sangat bersyukur, masih banyak anak-anak yang bermain dengan cerianya. Raut wajah mereka gembira, seolah-olah bertemu kakak baru. Kami pendatang disini, tetapi sudah menganggap mereka selayaknya adik sendiri.
Sembari melakukan social maping, kami mengutip beberapa sampah untuk bahan ecobrick. Tidak lupa juga, anak-anak diajak untuk ikut melakukan susur pulau, agar sampah yang dikumpulkan lebih banyak lagi. Akhirnya, sepakat. Siang ini alink ditemani anak-anak untuk melakukan susur pulau. Senang sekali rasanya.
Siang harinya, anak-anak sudah menunggu. Alink menyiapkan beberapa trash bag dan mulai konsolidasi. Menyusuri pulau indah yang masih asri ini, dengan udara yang sejuk di tengah-tengah hutan yang masih berpenghuni beberapa rumah dan ditemani sorak anak-anak menyanyikan “kepice”.
Kepice kepice.. ade jeramba Gede.
Aik Gemuro… aik gemuro.. be bue... bue…
Musim ujan banyak ikan kecik
Terkenal e name e cempedik
Ukan linggang, ukan juak kelik
Nasik sepinggan nak mubo agik.
Belitung yang kaya akan timah ini, mengingatkan bahwa Indonesia pernah terjajah bangsa Belanda, sehingga penjajah membangun bendungan “pice” untuk dapat menambang timah dihulu sungai. Anak-anak sangat hapal, ketika ditanya lagu favorit, mereka langsung menyanyikan lagu “kepice”.
Tidak terasa hari mulai petang, dan saatnya kembali ke penginapan. Cukup menyenangkan, bertemu warga dengan kesehariannya dan anak-anak yang ceria dan gembira. Teman-teman alink juga sudah di penginapan untuk beristirahat dan menyiapkan agenda esok hari.
Biopori Solusi Sampah Organik
Pengolahan sampah yang tidak ada habisnya, karena manusia dapat menghasilkan satu kilogram sampah setiap harinya. Termasuk pulau ini, yang sangat berpotensi untuk pengolahan sampah lebih bermanfaat.
Pagi itu, alink segera mendatangi rumah warga yang sebelumnya telah ditinjau untuk membuat lubang biopori. Lubang biopori berguna untuk resapan air, dan dapat menghasilkan pupuk dari sampah organik yang ditanam pada lubang sedalam kurang lebih 1 meter. Pak Yanto, pengepul ikan yang menjadi sasaran kami. Juga kamar mandi umum dan rumah Kak Susan yang menjadi posko makan siang para delegasi. Sekitar 5 biopori telah ditanam.
Ketika alink mengerjakan proyek biopori di rumah Pak Yanto, tanpa berpikir panjang, Pak Yanto mengundang alink untuk makan malam dirumahnya. Alangkah senangnya alink, mendapatkan keluarga baru disana. Setelah biopori selesai, segera kami mengabari teman-teman alink lainnya.
Main ke dermaga
Waktu terus berjalan, azan zuhur berkumandang. Alink segera bersiap melanjutkan proyek ecobrick dari sampah yang telah terkumpulkan. Ecobrick adalah bentuk inovasi pengolahan sampah anorganik yang dapat dijadikan kursi, meja, sofa dan lain sebagainya sesuai banyaknya botol plastik yang dimanfaatkan. Jika ini diberdayakan, maka akan bernilai ekonomis hingga jutaan rupiah.
Teman-teman alink mulai menuju dermaga. Di dekat dermaga, anak pondok kecil yang menjadi tempat kami melakukan ecobrick. Ternyata ibu-ibu sudah berkumpul dan alink memulai proyeknya.
Dengan semangat, alink dan ibu-ibu memasukkan sampah anorganik ke dalam botol plastik. Satu per satu sampah digunting agar mudah memasukkannya. Tiupan angin laut membuat kenyamanan semakin bertambah. Kini, alink lebih semangat mengerjakannya, dan akhirnya selesai satu bangku yang terbuat dari ecobrick.
Menjelang sore hari, beberapa teman Alink menyiapkan perkakas untuk kerajinan tangan dari botol bekas bersama anak-anak. Kali ini lebih dekat ke dermaga. Pondok yang cukup luas menampung anak-anak dalam berkreasi. Dengan sesuka hatinya mereka menghiasi botol untuk dijadikan celengan agar dapat menabung. Setelah selesai, celengan yang telah dicat dikumpulkan dan dijemur agar cepat kering. Siapa sangka, hasil karya tangan mungil ini beragam. Ada yang menghiasinya dengan gambar sendiri dan ada juga yang menggunakan manik-manik. Anak-anak memang luar biasa, selain dengan imajinasi yang tinggi, juga perlu pendampingan, bukan? Selepas dari itu, anak-anak mengajak ke pantai untuk menikmati sunset dan menyeburkan diri ke pantai. Sungguh menyenangkan, rasanya tidak ingin pulang hehe.
Bukan pertunjukan biasa
Negeri laskar pelangi memang wonderfull. Mimpi-mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia. Dan mimpi-mimpi itu ada di dalam diri kita masing-masing. Ketika sudah bermimpi, jangan tidur lagi, tetapi segera menciptakan sebuah kenyataan. Karena kita tidak tahu, mimpi mana yang dapat mengubah dunia.
Tidak terasa, hari ini adalah hari ketiga menjalankan proyek kebaikan. Beberapa delegasi telah sibuk menyiapkan pentas kecil di depan kantor balai desa. Tari-tarian dan pertunjukkan akan dinikmati malam ini, malam dimana kami pamitan dengan warga desa Seliu.
Termasuk alink, yang harus menyiapkan proposal bioporinya. Setelah bergadang semalaman, akhirnya siang ini proposal akan disampaikan di hadapan perangkat desa. Berharap proposal ini dapat diterima kepala desa, sebagai bagian kecil cita-cita kami dalam menjadi Liu-Liu sebagai desa percontohan untuk desa pulau lain. Desa yang tidak hanya asri dan indah, namun memiliki banyak kekayaan industri, pangan, dan dedikasi untuk para pelancong. Desa yang menjadi panutan, sebagai pembangunan terbaik dimasa yang akan datang. Harapan kecil ini, menjadi tekad setiap delegasi dari berbagai bidang. Kini, alink berada di dalam ruangan bersama perangkat desa yang siap mendengarkan pengajuan dari kami.
Tak disangka, setelah presentasi berakhir, alink membuka sesi pertanyaan untuk audiens yang hadir. Sekian detik, tidak ada yang bertanya. Tiba-tiba seseorang mengacungkan tangan dan mengutarakan maksudnya. Kami mengira ia akan melontarkan pertanyaan, ternyata beliau meminta untuk dibuatkan satu lubang biopori di rumahnya. Betapa senangnya alink. Tidak lama kemudian, pak sekdes berbicara. Alhamdulillah, secara keseluruhan, proposal kami diterima dan akan ditindaklanjuti oleh perangkat desa untuk menciptakan one house one biopori. Rasa haru menyelimuti diri alink-“anak lingkungan”. Hari terakhir yang menjadi goals kami, kini diterima dengan lapang hati. Tidak henti-hentinya bersyukur dan berterima kasih.
Matahari telah di ufuk Barat, malam Gradasi akan segera dimulai. Alink menampilkan pertunjukkan untuk menghibur masyarakat. Tidak lebih dari tiga kali, alink berlatih semampu dan semaksimal mungkin. Puisi Taufik Ismail menjadi konteks utama, ditambah lakon yang dilakukan alink akan menghidupkan suasana menjadi lebih menegangkan. Visualiasi puisi yang sangat bermakna untuk mengingat dan membaca perubahan alam yang dibuat oleh tangan-tangan manusia itu sendiri. Kerusakan alam terjadi akibat ulah manusia. Tuhan marah, ketika manusia secara sadar tidak menjaga lingkungan dan alam ini.
Tidak ada yang lebih berkesan di malam itu. Segala usaha dan upaya telah tertumpah dan berhasil menyenangkan masyarakat. Pertunjukan demi pertunjukan dari anak muda lokal maupun dari delegasi, telah tampil cukup memukau. Isak tangis terdengar dari mama yang selama ini memberi kasih sayang terbaik hingga hari ini. Dengan peluk yang erat dan ucapan maaf-terima kasih menjadi saksi bahwa anak muda harus tetap berkarya. Tuhan sangat baik, telah memberi kesempatan untuk bertemu keluarga Seliu, yang memberikan pengalaman dan pelajaran yang cukup berharga. Kami berharap ini bukan yang pertama dan terakhir.
Seliu, tidak hanya menceritakan pasir putih Tanjung Marang Bulo yang terbentang luas pinggiran pantai. Tidak hanya mengisahkan ikan dan kepiting rajungan yang disantap setiap hari. Tidak hanya batu granit yang menopang ombak laut untuk menikmati sunset di sore hari. Namun seliu, lebih dari itu. Seliu yang memiliki anak-anak yang merupakan aset terbaik bangsa. Seliu yang memiliki home industry dengan kualitas yang bersaing secara global. Seliu yang memiliki wisata bahari, tidak hanya perikanan namun juga pertanian di dalamnya. Seliu yang akan menjadi Pulau percontohan untuk pulau-pulau lainnya.
Seliu, kepingan laskar pelangi, permata yang tersembunyi, warisan terbaik negeri.