Kamis, 02 April 2020

RESUME KAJIAN FATWA : QAWAIDH FIQHIYYAH DALAM FATWA MUI NO. 14 TAHUN 2020 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH DALAM SITUASI WABAH COVID-19

RESUME KAJIAN FATWA : QAWAIDH FIQHIYYAH DALAM FATWA MUI NO. 14 TAHUN 2020 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH DALAM SITUASI WABAH COVID-19
Oleh : Nur Fadilah

Hukum syar’I ditetapkan setelah melalui proses penggalian dari dalil-dalil hukum (adillat al-ahkam). Dalam penetapan suatu fatwa, sudah tentu harus merujuk kepada dalil-dalil Al-Qur’an, Hadits, kaidah-kaidah fikih dan pendapat ulama. Begitu pula Fatwa MUI Pusat yang merespon persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini, yaitu wabah Covid-19 yang berdasarkan penelitian beberapa ahli medis dapat mematikan dan penyebaran yang begitu cepat. Secara metodologis fatwa tersebut telah melalui proses yang sesuai dengan kaidah-kaidah istinbath hukum syar’i. 
Dalam syari’at Islam, dikenal prinsip memelihara lima hal (maqashid asy-syar’iyyah), yakni Hifzh ad-Din (Menjaga Agama), Hifzh an-Nafs (Menjaga Jiwa), Hifzh al-‘Aql (Menjaga Akal), Hifzh an-Nasb (Menjaga Keturunan), dan yang terakhir Hifzh al-Maal (Menjaga Harta). Maka hukum yang telah ditetapkan tidak terlepas dari salah satunya.
Ada 6 kaidah yang digunakan ulama MUI dalam Fatwa ini, salah satunya لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ  yang artinya “Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain”.
Baiklah, berikut pertanyaan-pertanyaan audiens yang menjadi pembahasan dalam kajian fatwa ini dan dijawab langsung oleh pemateri Ust.Dr.Imam Yazid,MA.

[29/3 20:39] Moderator: Pertanyaan Pertama : Malika ali
Fatwa MUI no 14 tahun 2020 klasifikasinya yang wajib untuk mengikuti kira kira siapa dana daerah yang seperti apa ya ustadz? Kalau wilayah yang angka kasus Corona nya rendah apakah wajib mengikuti fatwa ini ustadz?

[29/3 20:45] Ust Imam Yazid : Jawaban
MUI tidak punya perangkat penegakan hukum. Oleh karena itu di rekomendasi fatwa tersebut menghimbau kepada pemerintah untuk melakukan tindakan antisipatif. Untuk menghindari keraguan khususnya masyarakat muslim maka di dalam rekomendasinya difatwakan tentang wajibnya umat Islam mendukung dan menaati kebijakan pemerintah.
Untuk wilayah yang kasusnya rendah tidak ada yang bertentangan dengan fatwa MUI ini. Dikatakan di fatwa itu jika suatu wilayah yang rendah potensi penyebaran virus tersebut maka tetap melaksanakan kewajiban sebagaimana keadaan normal.

[29/3 20:39] Moderator: Pertanyaan kedua : Sulaina, asal dari Medan Tembung. 
Terimakasih sudah memberi kesempatan kepada saya untuk bertanya, 
Pertanyaan saya,  dengan statement pengantar yg sudah dikirimkan oleh ustadz kita tadi, bahwa sudah jelas adanya fatwa tersebut berdiri. Jadi pertanyaan saya walau fatwa itu sudah dinaikkan, bagaimana jika kita masih tetap menjalankan shalat berjama'ah di dalam masjid,  dengan alasan meyakini bahwa tidak akan datangnya wabah tersebut menimpa mereka?,  apakah masih diperbolehkan kita melakukan hal tersebut walaupun sudah ada fatwa yg menegaskan akan perihal tersebut? 
Mohon penjelasannya ustadz...  
Terimakasih 

[29/3 20:55] Ust Imam Yazid: Jawaban 
Fatwa itu membolehkan shalat berjamaah di masjid dengan ketentuan-ketentuan yang telah jelas, seperti:
memastikan diri sendiri dalam keadaan sehat
bukan berada di wilayah yang potensi penularan covid-19 tinggi
meminimalisir kontak fisik, seperti bersalaman, berpelukan, cium tangan.
Dianjurkan untuk membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun

Untuk memastikan wilayah tersebut berstatus darurat atau siaga adalah pihak yang berkompeten. Jadi bukan berdasarkan keyakinan dari perasaan sendiri. Apalagi meyakini bahwa wabah tersebut tidak akan menimpa mereka. Keyakinan ini tentu sangat tidak berdasar. Karena telah terbukti berdasarkan data bahwa yang terkena wabah adalah orang yang shalat dan yang tidak shalat, yang berwudhu’ dan tidak berwudhu’, yang taat atau ahli maksiat. Data-data telah menunjukkan bukti wabah ini bisa menimpa siapa saja.
Jika menurut pengamatan pemerintah rumah ibadah harus dikunci, maka umat Islam wajib menaatinya. Ini tidak bertentangan dengan syariat, sebagaimana bisa didapatkan dalil-dalilnya dalam fatwa MUI ini.

[29/3 20:39] Moderator: Pertanyaan ketiga dari Lia Hamida asal Riau 
Jadi yg ingin saya tanyakan seperti yg ad di dalam fatwa tersebut di ketentuan hukum no 3 bahwasanya kita agar menghindari tmpat ramai atau kerumunan agar terhindar dri virus ini nah lalu bagaimana dengan org2 yg masih berjualan dpinggir jlan misal dn go food kalau lah mereka hanya dirumah saja bukankah ekonomi mereka akan terancam ?

[29/3 21:06] Ust Imam Yazid: Jawaban
Setiap kebijakan harus memperhatikan aspek maslahat dan mafsadatnya. Jika kebijakan datang dari pemerintah maka rakyat harus menaati. Taat pada pemerintah hukumnya wajib.
Terkait kebijakan ini akan mendatang mudarat lain (seperti yang ditanyakan tentang pekerjaan go food dan lainnya), ada suatu kaidah fikih yang berbunyi:
 “Jika bertentangan dua mafsadah (kerusakan) maka dipertimbangkan yang paling besar mafsadahnya yaitu dengan melaksanakan yang lebih ringan mafsadahnya”
Penjelasannya begini, virus mematikan yang menyebar adalah mafsadah, dan susah ekonomi akibat lockdown adalah mafsadah. Dari dua mafsadah ini, mafsadah pertama lebih besar. Maka itulah yang lebih layak dihindari.

[29/3 21:22] Moderator: Pertanyaan Keempat: Fadhilah dari Medan.
Yg terhormat, ustadzuna yg hari ini telah menyampaikan materi.
Ustadz, saya ingin bertanya. Mengenai aturan Shaf berjamaah saat ada wabah covid-19 ini. Dalam fatwa, tidam ada disebutkan tata cara shaf dan hukum bolehnya shaf berjarak hingga 1 meter saat sholat berjamaah. 
Yg ingin saya tanyakan. Dalil dan kaidah apa yg digunakan atas kebolehan ini, ustadz?

[29/3 21:23] Ust Imam Yazid: Jawaban
Kerapatan shaf bukan syarat sah shalat berjamaah. Hukum merapatkan shaf adalah sunah. Jika dikerjakan maka akan mendapatkan  pahala, jika tidak dikerjakan maka tidak membatalkan shalat berjamaah.
Jika ada uzur dalam melaksanakan yang sunah maka dibolehkan meninggalkannya. Terlebih lagi dalam rangka upaya pencegahan penyebaran wabah, maka merenggangkan shaf masih dalam koridor tujuan syariat, yaitu memelihara jiwa.

[29/3 21:22] Moderator: Pertanyaan kelima : Heri Andi (Siantar)
Izin bertanya :
Telah kita ketahui Tenaga medis memakai baju itu di batasi dengan waktu selama berjam-jam.
Sehingga dengan itu agak susah (Repot) membuka alat medisnya untuk sholat.
Jadi, Telah kita Temui di dalam media sosial bahwa Kiyai Ma'ruf Amin dengan ini menyarankan MUI untuk berfatwa Shalat tanpa Wudhu' dan Tayammum. Di dalam Kitab Fiqih ada yang di namakan :
صلاة فلقد الطهورين
Apakah bisa di Qiyas kan Masalah tentang tenaga medis tersebut dengan kasus Sholat Faqidhu At-Thohuroini?
Dan bagaimana Pandangan Aimmah Al-Madzaahib Arba'ah Tentang Kasus tersebut?
Terima kasih 

[29/3 21:35] Ust Imam Yazid: Jawaban
Beragama itu mudah. Allah memberikan kemudahan dalam setiap kesulitan. Dalam kondisi yang tidak normal, yang uzurnya telah pasti, maka berthaharah itu sesuai dengan kemampuannya. Jika tidak bisa berwudhu maka bertayammum. Jika tidak bisa bertayammum maka menurut mazhab Syafi’I tetap wajib melaksanakan shalat tanpa thaharah. Nama shalatnya lihurmatil waqti (untuk menghormati waktu). Betul, aturan shalat itu dikarenakan faqid ath-thahurain. Pelaksanaan shalat tersebut dapat dilakukan tanpa thaharah.
Apakah bisa diqiyaskan kepada tenaga medis yang berpakaian khusus dan menyulitkan baginya untuk membuka pakaian itu? Jawabannya ya. Bisa diqiyaskan karena kesulitan untuk bersuci meski ada alat bersucinya dapat dimasukkan ke dalam makna ketiadaan alat bersuci.

[29/3 21:22] Moderator: Pertanyaan keenam :  Muhammad abidin
Saya meyakini para ulama kita yang mumpuni dalam qawaid ushuliyah - qawaid fiqhiyah dan maqashid as-syariah itu paham benar akan kaidah masalahah - mafsadah; azimah - rukhsah, taklifi - wadh’i; sadd dzari’ah dan konsep kunci lainnya. Perbedaannya adalah pada aplikasi kaidah dan pemahaman tentang persoalan atau kasus yang dihadapi.
Soal corona. Sebagian pihak menggunakan kaidah di bawah ini:
‎“Kemaslahatan yang nyata wajib didahulukan dari pada mafsadah yang belum nyata”
Para ulama kita yang alim dan mumpuni itu beranggapan kemaslahatan shalat jumat dan berjamaah di masjid itu sudah nyata, sementara mafsadah (kerusakan) akibat corona itu belum nyata. Kaidahnya benar. Namun aplikasinya belum tentu benar. Timbul pertanyaan:
Pertanyaan !
1. Benarkah mafsadah corona itu belum nyata?
2. Siapa yang berhak menentukan status mafsadah corona tersebut?

 [29/3 21:47] Ust Imam Yazid: Jawaban
1. Mafsadah corona itu adalah nyata berdasarkan zhan (dugaan yang kuat) penelitian dan pengamatan ahli di bidang ini. Data peningkatan penderita yang naik tiap hari adalah bukti mafsadahnya nyata. Begitu juga data penderita yang meninggal wabah ini adalah bukti nyata mafsadah covid-19
2. Untuk skala internasional ada lembaga kesehatan dunia, yaitu WHO yang menetapkan bahayanya virus ini. Pemerintah setelah mendengarkan ahli-ahli kesehatan menyimpulkan virus ini memang berbahaya, lalu ditetapkan status pandemik di Indonesia. Memang kita temukan beberapa opini tentang virus ini. Bagi rakyat hendaknya berpedoman kepada keputusan pemerintah, karena ada kaidah (Keputusan hakim/penguasa wajib ditaati dan menghapus perbedaan pendapat)

[29/3 22:00] Moderator: Pertanyaan Ketujuh : IMAM FAHMI, saya mahasiswa UIN SUSKA RIAU jurusan hukum tata negara smester 6.
ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH... Yang terhormat, yang mulia Alustad'almukarrom DR.IMAM YAZID MA, mudah2 ustad dan keluarga slalu dalam lindungan ALLAH SWT dan slalu diberikan kesehatan, Aamiin allahuma aamiin..  Terimaksih sebelumnya kpada moderator yang telah mengizinkan untuk bertanya , Nama saya, asal daerah asli sumut, langkat.  Izin bertanya ustad.. Jadi begini ustad...  Saya melihat dan saya mendengar beberapa ulama yang menyikapi wabah covid-19(virus corona).  Ada salah satu ulama Indonesia asal sumbar.. yang sudah tidak asing lagi dan bnyak orang2 yg telah melihat dan menonton YT beliau, yakni al mukarrom al ustad H. Zulkifli M. ALi,  ada ceramah beliau yang mengatakan bahwa virus corona ini adalah proyek Cina, dan beliau mengatakan ini jugak proyek dajjal untuk memusnahkan populasi manusia, dan data itu didapat oleh ust zulkifli dari seseorang dokter muslim yang meruqiyah seeorang wanita yg terkena virus corona,  dan ust zulkifli pun mengatakan bahwa kalau seandainya umroh/haji ditiadakan di tahun ini..  Maka tidak lama lagi dunia ini akan masuk fase lampu merah artinya tanda-tanda kiamat sudah jelas(Mengutip Hadits RASULULLAH SAW). Pertanyaan saya ustad..   Bagaimana kita sebagai umat islam memandang ini ustad..?   Banyak orang tua yang rajin ke mesjid mengatakan "ngapain takut korona, Takutlah kepada ALLAH SWT". Bagaimana sikap kita terhadap mereka orang tua yg rajin ke masjid itu stad.. Sudah di jelaskan dgn lembut..  Tak mungkinlah kita bentak kn stad..  Dan orang tua itu pun sudah tau surat keputusan MUI itu ustad..  ?  Trimakasih ustad. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...

[29/3 22:15] Ust Imam Yazid: Jawaban
1. Setiap fenomena pasti menghadirkan aneka komentator. Ini udah tak asing lagi, terlebih saat ini siapapun bisa bicara dan dibaca orang banyak karena teknologi mendukung untuk itu. Maka ini tantangan kita untuk selektif dalam menerima berita, opini, pendapat. Seleksi seperti ini sudah dilakukan oleh ulama terdahulu sehingga ada ilmu al-jarh wa at-ta’dil, sebagai salah satu alat dari ulumul hadis. Menurut saya, cukuplah bagi kita mengikuti pendapat ulama-ulama besar (kibar al-ulama) tentang covid-19. Adapun opini pribadi sebaiknya tidak dijadikan hujjah karena tingkat kepastian benarnya lebih kecil. Wallahu a’lam.
2. “Ngapain takut corona, takutlah kepada Allah?” Saya yakin yang ngomong itu banyak takut kepada makhluk. Bohong kalau dia tidak takut masuk ke sarang ular, kandang harimau. Coba tanyakan dia berani atau gak nyemplungin anaknya ke sungai? Kalau gak berani kenapa? Pasti karena tidak menyukainya kan? Nah… kita takut kepada makhluk itu karena tidak menyukainya maka kita menjauh. Berbeda sekali dengan takut kepada Allah yang bukan karena tidak menyukainya. Jadi takut kepada makhluk itu tabiat manusia yang tak dapat disamakan dengan takut kepada Allah. Takut yang merusak akidah itu misalnya kita takut dengan keris yang jika tak dimandikan maka akan menggangu kelancaran rezeki. Jadi takut seperti itu yang bisa dikomparasikan dengan takut kepada Allah. Silahkan cerna dengan mengulang-ulangi penjelasan ini lagi ya.
3. Jelaskan bahwa Islam melarang manusia untuk membuat dirinya dalam bahaya dan melarang membuat bahaya bagi orang lain. Kita tidak mengetahui siapa diantara kita yang sudah terkena covid-19. Orang yang terkena virus itu tidak langsung sakit. Dia masih bisa beraktivitas sebagaimana biasanya selama beberapa hari sampai virus itu berkembang di tubuhnya. Dalam rangka itulah hendaknya mengikuti sabda Nabi, “Jangan membahayakan diri sendiri dan jangan membahayakan orang lain”
Ini wajib. Jika dilaksanakan berpahala. Jika tidak dilaksanakan akan berdosa. Bayangkan akibat kedegilannya dia tetap ngotot ke masjid dan menyebabkan tersebarnya penyakit ke orang lain. Itu zalim namanya. Jadi ulama itu berpendapat berdasarkan dalil-dalil yang banyak dan pertimbangan maslahat umat/orang banyak. Berbeda dengan oknum itu yang hanya mikir kesalehan pribadinya tanpa peduli kesalehan itu dapat merugikan orang lain atau tidak. Itulah bedanya ulama. Maka kita pun mengikut ulama. Bukan pendapat-pendapat yang tak dapat dipegang kebenarannya. Wallahu a’lam

[29/3 21:22] Moderator : Pertanyaan Kedelapan : M. Fajri Hidayatullah,
Assalamualaikum ustadz , nama saya M. Fajri Hidayatullah, saya dari medan (UINSU), setiap orang berbeda jenis pekerjaannya tidak semua sama, sebagian ada orang yang bekerja diluar rumah untuk mencari nafkah, tidak keluar rumah pun serba salah, dan keluar rumah pun menjadi serba salah juga, sama2 menyebabkan kematian, jadi yang saya tanya kan disini ustaz apakah ada kebijakan pemerintah untuk mengasikan rakyat kecil? Bercermin dari negara tetangga, pemerintah mereka membantu rakyatnya yang tidak mampu.

 [29/3 22:20] Ust Imam Yazid: Jawaban 
Secara teoretis, harusnya negara menjadi bagian dari problem solver sesuai dengan kapasitasnya. Pertanyaan ini lebih dominan aspek politik/siyasah. Saya pikir ini bukan kapasitas saya menjawabnya. Maka saya mencukupkan jawabannya secara normatif sebagaimana di awal narasi jawaban ini.

3 komentar:

Warisan Seliu

  WARISAN SELIU “Bukan tentang pantainya, namun tentang permata yang tersimpan menjadi warisan” – Nur Fadilah Alink berkumpul dengan ria di ...